Muh.
Arief Ujiyantho
Abstraksi
Makalah
ini mencoba memberikan paparan deskriptif tentang hubungan asimetri informasi
dengan tindakan manajemen laba sebagai implikasi dari hubungan keagenan. Selain
itu pula makalah ini juga mencoba membahas kemungkinan meminimalisasi masalah
keagenan tersebut melalui corporate governance.
Dalam teori keagenan (agency theory), hubungan agensi muncul ketika satu
orang atau lebih (principal) memperkerjakan orang lain (agent) untuk memberikan
suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada
agent tersebut. Hubungan antara principal dan agent dapat mengarah pada kondisi
ketidakseimbangan informasi (asymmetrical information) karena agent berada pada
posisi yang memiliki informasi yang lebih banyak tentang perusahaan
dibandingkan dengan principal. Dengan asumsi bahwa individu-individu
bertindak untuk memaksimalkan kepentingan diri sendiri, maka dengan informasi
asimetri yang dimilikinya akan mendorong agent untuk menyembunyikan beberapa
informasi yang tidak diketahui principal. Dalam kondisi yang asimetri tersebut,
agent dapat mempengaruhi angka-angka akuntansi yang disajikan dalam laporan
keuangan dengan cara melakukan manajemen laba.
Salah
satu cara yang di gunakan untuk memonitor masalah kontrak dan membatasi
perilaku opportunistic manajemen adalah corporate governance. Prinsip-prinsip pokok corporate governance yang perlu
diperhatikan untuk terselenggaranya praktik good corporate governance adalah; transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability),
keadilan (fairness), dan responsibilitas (responsibility).
Corporate governance diarahkan untuk
mengurangi asimetri informasi antara principal dan agent yang pada akhirnya
diharapkan dapat meminimalkan tindakan manajemen laba.
Kata kunci : hubungan agensi, asimetri
informasi, manajemen laba, corporate governance
Pendahuluan
Masalah agensi telah menarik perhatian yang sangat besar
dari para peneliti di bidang akuntansi keuangan (Fuad, 2005). Masalah agensi
timbul karena adanya konflik kepentingan antara shareholder dan manajer,
karena tidak bertemunya utilitas yang maksimal antara mereka. Sebagai agent,
manajer secara moral bertanggung jawab untuk mengoptimalkan keuntungan para
pemilik (principal), namun disisi yang lain manajer juga mempunyai
kepentingan memaksimumkan kesejahteraan mereka.
Sehingga ada kemungkinan besar agent tidak selalu bertindak demi
kepentingan terbaik principal (Jensen dan Meckling, 1976).
Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak
mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang
dibandingkan pemilik (pemegang saham). Oleh karena itu sebagai pengelola,
manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada
pemilik. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan informasi
akuntansi seperti laporan keuangan. Akan tetapi informasi yang disampaikan
terkadang diterima tidak sesuai dengan kondisi perusahaan sebenarnya. Kondisi
ini dikenal sebagai informasi yang tidak simetris atau asimetri informasi (information
asymetric). Asimetri informasi terjadi karena manajer lebih superior dalam
menguasai informasi dibanding pihak lain (pemilik atau pemegang saham).
Asimetri antara manajemen (agent)
dengan pemilik (principal) memberikan kesempatan kepada manajer untuk
bertindak oportunis, yaitu memperoleh keuntungan pribadi. Dalam hal pelaporan
keuangan, manajer dapat melakukan manajemen laba (earnings management)
untuk menyesatkan pemilik (pemegang saham) mengenai kinerja ekonomi perusahaan.
Tindakan earnings management telah memunculkan
dalam beberapa kasus skandal pelaporan akuntansi yang secara luas diketahui,
antara lain Enron, Merck, WorldCom dan mayoritas perusahaan lain di Amerika
Serikat (Cornett et al, 2006). Dalam
kasus Enron misalnya, Satu dampak yang sangat jelas yaitu
kerugian yang ditanggung para investor dari ambruknya nilai saham yang sangat
dramatis dari harga per saham US$ 30 menjadi hanya US$ 10 dalam waktu dua
minggu. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa suatu perusahaan kelas
dunia dapat mengalami hal yang sangat tragis dengan mendeklarasikan bangkrut
justru setelah hasil audit keuangan perusahaannya dinyatakan “wajar tanpa
syarat” (Alijoyo, 2003). Beberapa kasus yang terjadi di Indonesia, seperti PT. Lippo Tbk dan PT. Kimia
Farma Tbk juga melibatkan pelaporan keuangan (financial reporting) yang
berawal dari terdeteksi adanya manipulasi (Gideon, 2005).
Makalah ini berupaya memberikan paparan tentang topik
tersebut dengan mengawalinya melalui pembahasan tentang teori agensi.
Pembahasan selanjutnya mengenai hubungan
asimetri informasi terhadap manajemen laba dan diakhiri dengan corporate
governance sebagai upaya untuk meminimalkan masalah keagenan.
Teori
Keagenan
Teori keagenan dapat dipandang sebagai suatu versi dari game
theory (Mursalim, 2005), yang membuat suatu model kontraktual antara
dua atau lebih orang (pihak), dimana salah satu pihak disebut agent dan
pihak yang lain disebut principal. Principal mendelegasikan
pertanggungjawaban atas decision making kepada agent, hal ini
dapat pula dikatakan bahwa principal memberikan suatu amanah kepada agent
untuk melaksanakan tugas tertentu sesuai dengan kontrak kerja yang telah
disepakati. Wewenang dan tanggungjawab agent maupun principal diatur
dalam kontrak kerja atas persetujuan bersama.
Scott (2000) menyatakan bahwa perusahaan mempunyai banyak
kontrak, misalnya kontrak kerja antara perusahaan dengan para manajernya dan
kontrak pinjaman antara perusahaan dengan krediturnya. Kontrak kerja yang
dimaksud dalam penulisan makalah ini adalah kontrak kerja antara pemilik modal
dengan manajer perusahaan. Dimana antara agent dan principal ingin
memaksimumkan utility masing-masing dengan informasi yang dimiliki.
Tetapi di satu sisi, agent memiliki informasi yang
lebih banyak (full information) dibanding dengan principal di
sisi lain, sehingga menimbulkan adanya asimetry information. Informasi
yang lebih banyak dimiliki oleh manajer dapat memicu untuk melakukan
tindakan-tindakan sesuai dengan keinginan dan kepentingan untuk memaksimumkan utilitynya.
Sedangkan bagi pemilik modal dalam hal ini investor, akan sulit untuk
mengontrol secara efektif tindakan yang dilakukan oleh manajemen karena hanya
memiliki sedikit informasi yang ada. Oleh karena itu, terkadang
kebijakan-kebijakan tertentu yang dilakukan oleh manajemen perusahaan tanpa
sepengetahuan pihak pemilik modal atau investor.
Asimetri Informasi
Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak
mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang
dibandingkan pemilik (pemegang saham). Oleh karena itu sebagai pengelola,
manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada
pemilik. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan informasi
akuntansi seperti laporan keuangan.
Laporan keuangan dimaksudkan untuk
digunakan oleh berbagai pihak, termasuk manajemen perusahaan itu sendiri. Namun
yang paling berkepentingan dengan laporan keuangan sebenarnya adalah para
pengguna eksternal (diluar manajemen). Laporan keuangan tersebut penting bagi
para pengguna eksternal terutama sekali karena kelompok ini berada dalam
kondisi yang paling besar ketidakpastiannya (Ali, 2002). Para pengguna internal
(para manajemen) memiliki kontak langsung dengan entitas atau perusahannya dan
mengetahui peristiwa-peristiwa signifikan yang terjadi, sehingga tingkat
ketergantungannya terhadap informasi akuntansi tidak sebesar para pengguna
eksternal.
Situasi ini akan memicu munculnya
suatu kondisi yang disebut sebagai asimetri informasi (information asymmetry).
Yaitu suatu kondisi di mana ada ketidakseimbangan perolehan informasi antara
pihak manajemen sebagai penyedia informasi (prepaper) dengan pihak
pemegang saham dan stakeholder pada
umumnya sebagai pengguna informasi (user).
Menurut Scott (2000), terdapat dua
macam asimetri informasi yaitu:
1. Adverse selection,
yaitu bahwa para manajer serta orang-orang dalam lainnya biasanya mengetahui
lebih banyak tentang keadaan dan prospek perusahaan dibandingkan investor pihak
luar. Dan fakta yang mungkin dapat mempengaruhi keputusan yang akan diambil
oleh pemegang saham tersebut tidak disampaikan informasinya kepada pemegang
saham.
2. Moral hazard,
yaitu bahwa kegiatan yang dilakukan oleh seorang manajer tidak seluruhnya
diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi pinjaman. Sehingga manajer dapat
melakukan tindakan diluar pengetahuan pemegang saham yang melanggar kontrak dan
sebenarnya secara etika atau norma mungkin tidak layak dilakukan.
Adanya asimetri informasi memungkinkan adanya konflik
yang terjadi antara principal dan
agent untuk saling mencoba memanfatkan pihak lain untuk kepentingan
sendiri. Eisenhardt (1989) mengemukakan tiga asumsi sifat dasar manusia yaitu:
(1) manusia pada umunya mementingkan diri sendiri (self interest), (2)
manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded
rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk adverse).
Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut menyebabkan bahwa informasi
yang dihasilkan manusia untuk manusia lain selalu dipertanyakan reliabilitasnya
dan dapat dipercaya tidaknya informasi yang disampaikan.
Manajemen
Laba
Schipper
(1989) mendefinisikan manajemen laba sebagai suatu intervensi dengan maksud
tertentu terhadap proses pelaporan keuangan eksternal dengan sengaja untuk
memperoleh beberapa keuntungan pribadi. Fischer dan Rosenzweig (1995)
mendefinisikan manajemen laba sebagai tindakan seorang manajer dengan
menyajikan laporan yang menaikan (menurunkan) laba periode berjalan dari unit
usaha yang menjadi tanggungjawabnya, tanpa menimbulkan kenaikan (penurunan)
profitabilitas ekonomi unit tersebut dalam jangka panjang. Sedangkan menurut
Healy dan Wahlen (1999), manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan pertimbangan
(judgment) dalam pelaporan keuangan dan penyusunan transaksi untuk
merubah laporan keuangan, dengan tujuan untuk memanipulasi besaran (magnitude)
laba kepada beberapa stakeholders tentang kinerja ekonomi perusahaan
atau untuk mempengaruhi hasil perjanjian (kontrak) yang tergantung pada
angka-angka akuntansi yang dilaporkan.
Healy
dan Wahlen (1999), menyatakan bahwa definisi manajemen laba mengandung beberapa
aspek. Pertama intervensi manajemen laba terhadap pelaporan keuangan dapat
dilakukan dengan penggunaan judgment, misalnya judgment yang
dibutuhkan dalam mengestimasi sejumlah peristiwa ekonomi di masa depan untuk
ditunjukan dalam laporan keuangan, seperti perkiraan umur ekonomis dan nilai
residu aktiva tetap, tanggungjawab untuk pensiun, pajak yang ditangguhkan,
kerugian piutang dan penurunan nilai asset. Disamping itu manajer memiliki pilihan untuk
metode akuntansi, seperti metode penyusutan dan metode biaya. Kedua, tujuan manajemen
laba untuk menyesatkan stakeholders mengenai kinerja ekonomi perusahaan.
Hal ini muncul ketika manajemen memiliki akses terhadap informasi yang tidak
dapat diakses oleh pihak luar.
Ada berbagai motivasi yang mendorong
dilakukannya manajemen laba. Teori akuntansi positif (Positif Accounting
Theory) mengusulkan tiga hipotesis motivasi manajemen laba, yaitu: (1)
hipotesis program bonus (the bonus plan hypotesis), (2) hipotesis
perjanjian hutang (the debt covenant hypotesis), dan (3) hipotesis biaya
politik (the political cost hypotesis) (Watts dan Zimmerman, 1986).
Motivasi
kontrak muncul karena perjanjian antara manajer dan pemilik perusahaan berbasis
pada kompensasi manajerial dan perjanjian hutang (debt covenant).
Semakin tinggi rasio hutang/ekuitas
suatu perusahaan, yang ekuivalen dengan semakin dekatnya (yaitu semakin
ketat) perusahaan terhadap kendala-kendala dalam perjanjian hutang dan semakin
besar probabilitas pelanggaran perjanjian, semakin mungkin manajer untuk
menggunakan metode-metode akuntansi yang meningkatkan income (Belkaoui,
2000).
Motivasi
bonus merupakan dorongan manajer perusahaan dalam melaporkan laba yang
diperolehnya untuk memperoleh bonus yang dihitung atas dasar laba tersebut. Manajer
perusahaan dengan rencana bonus lebih mungkin menggunakan metode-metode
akuntansi yang meningkatkan income yang dilaporkan pada periode
berjalan. Alasanya adalah tindakan seperti itu mungkin akan meningkatkan
persentase nilai bonus jika tidak ada penyesuaian untuk metode yang dipilih
(Belkaoui, 2000). Penelitian Healy (1985) menggunakan pendekatan program bonus
manajemen, yaitu bahwa manajer akan memperoleh bonus secara positif ketika laba
berada di antara batas bawah (bogey) dan batas atas (cap). Ketika
laba berada di bawah bogey manajer tidak mendapatkan bonus, dan ketika
laba berada diatas cap manajer hanya mendapatkan bonus tetap.
Motivasi
regulasi politik merupakan motivasi manajemen dalam mensiasati berbagai
regulasi pemerintah. Perusahaan yang terbukti menjalankan praktik pelanggaran
terhadap regulasi anti trust dan anti monopoli, manajernya melakukan
manipulasi laba dengan menurunkan laba yang dilaporkan (Cahan, 1992; Jogiyanto
dan Ainun, 1998). Perusahaan juga melakukan manajemen laba untuk menurunkan laba dengan tujuan untuk
mempengaruhi keputusan pengadilan terhadap perusahaan yang mengalami damage
award (Hall dan Stammerjohan, 1997).
Selain itu Income taxation juga merupakan motivasi dalam manajemen laba
(Lilis, 2001). Pemilihan metode akuntansi dalam pelaporan laba akan memberikan
hasil yang berbeda terhadap laba yang dipakai sebagai dasar perhitungan pajak.
Asimetri
Informasi dan Manajemen Laba
Schift dan Lewin (1970) dalam Hartono dan Riyanto (1997),
menyatakan bahwa agent berada posisi yang mempunyai lebih banyak
informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja dan perusahaan secara
keseluruhan dibandingkan dengan principal. Dengan asumsi bahwa
individu-individu bertindak untuk memaksimalkan kepentingan diri sendiri, maka
dengan informasi asimetri yang dimilikinya akan mendorong agent untuk
menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui principal.
Sehingga dalam kondisi semacam ini principal
seringkali pada posisi yang tidak diuntungkan.
Dalam penyajian informasi akuntansi, khususnya penyusunan
laporan keuangan, agent juga memiliki informasi yang asimetri sehingga
dapat lebih fleksibel mempengaruhi pelaporan keuangan untuk memaksimalkan
kepentingannya. Tujuan laporan keuangan adalah menyediakan
informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi
keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai laporan
keuangan dalam pengambilan keputusan ekonomi (IAI, 2002). Namun karena adanya kondisi yang asimetri,
maka agent dapat mempengaruhi angka-angka akuntansi yang disajikan dalam
laporan keuangan dengan cara melakukan manajemen laba.
Corporate
Governance
Dengan
melihat beberapa contoh kasus skandal pelaporan akuntansi yang terjadi, sangat relevan bila ditarik
suatu benang merah dari kacamata corporate
governance. Corporate
governanace merupakan
salah satu elemen kunci dalam meningkatkan efesiensi ekonomis, yang meliputi
serangkaian hubungan antara manajemen perusahaan, dewan direksi, para pemegang
saham dan stakeholders lainnya (OECD,1999). Corporate governance
juga memberikan suatu struktur yang memfasilitasi penentuan sasaran-sasaran
dari suatu perusahaan, dan sebagai sarana untuk menentukan teknik monitoring
kinerja. Watts (2003), menyatakan bahwa salah satu cara yang di gunakan untuk
memonitor masalah kontrak dan membatasi perilaku opportunistic manajemen
adalah corporate governance.
Prinsip-prinsip pokok
corporate governance yang perlu diperhatikan untuk terselenggaranya
praktik good corporate governance adalah;
transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability),
keadilan (fairness), dan responsibilitas (responsibility). Transparency,
dengan meningkatkan kualitas keterbukaan informasi tentang “performance”
perusahaan secara akurat dan
tepat waktu. Accountability, dengan mendorong optimalisasi peran dewan direksi dan
dewan komisaris dalam menjalankan tugas dan fungsinya secara professional.
Praktik audit yang sehat dan independen mutlak diperlukan untuk menunjang
akuntabilitas perusahaan. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan
mengefektikan komite audit. Fairness, dengan memaksimalkan upaya
perlindungan hak dan perlakuan adil kepada seluruh shareholders tanpa
kecuali. Dan responsibility, dengan mendorong optimalisasi peran stakeholders
dalam mendukung program-program perusahaan (Anis Baridwan, 2003) .
Dengan menerapkan corporate
governance diharapkan dapat mengurangi dorongan untuk
melakukan tindakan manipulasi oleh manajer. Sehingga kinerja yang dilaporkan
merefleksikan keadaan ekonomi yang sebenarnya dari perusahaan bersangkutan
(Jensen, 1993).
Kesimpulan
Asimetri informasi terjadi
karena manajer lebih superior dalam menguasai informasi dibanding pihak lain
(pemilik atau pemegang saham). Dengan asumsi bahwa
individu-individu bertindak untuk memaksimalkan kepentingan diri sendiri, maka
dengan informasi asimetri yang dimilikinya akan mendorong agent untuk
menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui principal.
Sehingga dengan adanya asimetri antara
manajemen (agent) dengan pemilik (principal) memberikan
kesempatan kepada manajer untuk melakukan manajemen laba (earnings
management) dalam rangka memaksimumkan utilitynya.
Salah satu cara yang di
gunakan untuk memonitor masalah kontrak dan membatasi perilaku opportunistic
manajemen adalah corporate governance (Watts, 2003). Prinsip-prinsip pokok corporate
governance yang perlu diperhatikan untuk terselenggaranya praktik good
corporate governance
adalah;
transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability),
keadilan (fairness), dan responsibilitas (responsibility).
Berkaitan dengan masalah
keagenan, corporate governance yang merupakan konsep yang didasarkan
pada teori keagenan, diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk memberikan
keyakinan kepada para investor bahwa mereka akan menerima return atas
dana yang telah mereka investasikan. Dengan kata lain corporate governance
diarahkan untuk mengurangi asimetri informasi antara principal dan agent
yang pada akhirnya dapat menurunkan tindakan manajemen laba.
Daftar Pustaka
Ali Irfan (2002). Pelaporan Keuangan dan Asimetri
Informasi dalam Hubungan Agensi. Lintasan Ekonomi Vol. XIX. No.2. Juli
2002
Anis Baridwan.
(2003). “Good Corporate Governance: Aturan-aturan dalam Governing
Mechanism”. Seminar Sehari: Issues Application & Research In Corporate
Governance Dalam Rangka Launching Pusat Studi Corporate Governance FE UTY.
Belkoui dan Ahmed Riahi. (2000). Accounting
theory, 4th Edition, Thomson Learning.
Cahan, S.F. (1992). The Effect A Antitrust Investigations
on Discretionary Accruals A Refined Test of the Political Cost Hipotesis. The
Accounting Review. Vol. 67 No. 1. January, hal. 77-95.
Cornett M. M, J. Marcuss, Saunders dan Tehranian H.
(2006). Earnings Management, Corporate Governance, and True Financial
Performance. http://papers.ssrn.com/
Eisenhardt, Kathleem. M. (1989). Agency Theory: An
Assesment and Review. Academy of management Review, 14, hal 57-74
F. Antonius Alijoyo. (2003).
Rasio Keuangan dan Praktek Corporate Governance. http://www.fcgi.or.id.g/rasio/keuangan14-08-2002
Fuad. (2005).
Simultanitas Dan “Trade-Off” Pengambilan Keputusan Finansial Dalam
Mengurangi Konflik Agensi: Peran Dari Corporate Ownership . Simposium
Nasional Akuntansi VIII, IAI, 2005.
Fisher, Marilyn, dan Kenneth Rosenzweigh. (1995).
Attitudes of Students and accounting Practitioners Concerning the Ethical
Acceptability of Earnings Management. Journal of Business Ethics, Volume
14, hal. 443-444
Gideon SB Boediono.
(2005). Kualitas Laba: Studi Pengaruh Mekanisme Corporate Governace
dan Dampak Manajemen Laba dengan Menggunakan Analisis Jalur. Simposium
Nasional Akuntansi VIII, IAI, 2005.
Hall, Steven C. dan Wiliam W. Stammerjohan, (1997).
Damage awards and Earnings Management in The Oil Industry. The Accounting
Review. 72 (1), Januari.
Hartono, Jogiyanto dan Riyanto LS. Bambang. (1997). “The
Effect of Asimetrical Information and Risk Attitude on Insentive Schemes: A
Contigency Approach”. Jurnal Ekonomi Dan Bisnis Indonesia, Vol. 12, 1:
1-12
Healy, Paul. (1985). The Effect
of Bonus Schemes on Accounting Decisions, Journal of Accounting and
Economics. 7, hal. 85-107
Healy, Paul M. and J.M. Wahlen.
(1999). A Review Of The Earnings Management Literature And Its Implications For
Standard Setting. Accounting Horizons 13, 365-383.
Ikatan Akuntan Indonesia. (2002). Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta: Salemba Empat.
Jensen, M.C. (1993). The Modern Industrial revolution,
Exit, and the Failure of Internal Control System. Journal of Finance, Vol.
48. July, hal.831-880
Jensen, Michael C. dan W.H. Meckling. (1976). Theory of
The Firm: Managerial Behavior, Agency Cost and Ownership Structure. Journal
of Financial Economics 3. hal. 305-360.
Jogiyanto Hartono dan Ainun Na’im. (1998). The Effect of
A legal Process on Management of Accruals: Further Evidences on Management of
Earnings. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, 13 (2)
Lilis Setiawati (2001). Rekayasa Akrual untuk
Meminimalkan Pajak. Simposium Nasional Akuntansi V, IAI, 2001
Mursalim. (2005).
Income Smoothing dan Motivasi Investor: Studi Empiris pada Investor di BEJ.
Simposium Nasional Akuntansi VIII, IAI, 2005.
OECD, 1999, OECD Principles of Corporate Governance
Schipper, Katherine. (1989). Comentary Katherine on
Earnings Management. Accounting Horizon.
Scott, William R. (2000). Financial Accounting Theory.
Second edition. Canada: Prentice Hall.
Watts, Ross L. (2003). Conservatism in
Accounting Part I: Explanations and Implications. Accounting Horizon, Vol. 17: 207-221.
Watts, Ross L. dan Jerold L. Zimmerman. (1986). Positive
Accounting Theory. New Jersey: Prentice Hall International Inc.
0 komentar:
Mohon Berkomentar dengan sopan.
Komentar yg mengandung unsur SPAM dan Pornografi akan kami hapus.